JAKARTA, geografyi.com – Timor Leste menghadapi bayang-bayang masa depan yang tidak pasti setelah lebih dari dua dekade merdeka. Meski berhasil membangun fondasi demokrasi yang stabil dan mencatat sejumlah capaian ekonomi, negeri mungil di Asia Tenggara ini masih dibelit kemiskinan struktural, ketergantungan pada sektor minyak, dan minimnya investasi untuk pembangunan jangka panjang.
Setelah meraih kemerdekaan pada 20 Mei 2002, Timor Leste memulai perjalanan sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Infrastruktur porak-poranda akibat konflik, sistem kesehatan dan pendidikan minim, serta keterbatasan layanan publik membuat negara ini harus bertumpu pada bantuan internasional selama bertahun-tahun. Bahkan pada 2006, krisis politik hampir menyeret negara itu kembali ke titik runtuh sehingga PBB kembali mengirim penjaga perdamaian untuk menstabilkan situasi.
Meski demikian, Timor Leste perlahan bangkit. Pengelolaan sumber daya minyak dan gas melalui Petroleum Fund dianggap cukup transparan dan menjadi penyokong utama perekonomian. Di ranah politik, negara ini bahkan digolongkan sebagai salah satu demokrasi paling stabil di Asia Tenggara. Keberhasilannya menangani pandemi COVID-19 juga sempat menuai pujian karena mampu menekan penyebaran virus melalui penutupan perbatasan dan respons cepat pemerintah.
Namun di balik capaian tersebut, tantangan serius mengintai. Tingkat kemiskinan masih berada pada kisaran 42 persen. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup pada pertanian subsisten yang tidak menghasilkan pendapatan tetap. Keterbatasan lapangan kerja di sektor formal membuat banyak anak muda memilih bekerja ke luar negeri, mengirim uang kepada keluarga dan menjadi sumber pendapatan nasional terbesar kedua. Fenomena ini sekaligus menimbulkan risiko hilangnya tenaga terampil yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan dalam negeri.
Ketergantungan ekstrem pada minyak dan gas juga menjadi ancaman utama. Cadangan minyak diperkirakan habis pada 2034, meninggalkan rentang waktu kurang dari satu dekade bagi Timor Leste untuk mencari sumber pemasukan baru. Sementara itu, sektor-sektor alternatif seperti manufaktur, pertanian kopi, dan pariwisata belum mampu memberikan kontribusi signifikan. Investasi asing pun kerap terhambat kurangnya tenaga kerja terlatih serta ketidakpastian regulasi.
Kondisi infrastruktur yang buruk memperparah masalah. Jalan tidak beraspal dan minim perawatan membuat biaya distribusi tinggi, sementara rendahnya investasi pada pendidikan dan pelatihan membuat kualitas SDM stagnan. Dengan populasi muda yang besar, Timor Leste sebenarnya memiliki potensi besar untuk transformasi ekonomi—namun minimnya kebijakan jangka panjang membuat peluang itu terancam hilang.
Apabila pemerintah tidak segera mengubah arah kebijakan dan memperkuat fondasi ekonomi non-migas, Timor Leste berpotensi terperosok lebih dalam ke jurang kemiskinan. Tantangan-lah yang kini menentukan apakah negara ini mampu bangkit sebagai ekonomi mandiri atau justru terjebak dalam ketergantungan berkepanjangan.


Social Footer