Afrika Barat, geografyi.com – Guinea Khatulistiwa, negara kecil di Afrika Barat dengan populasi sekitar 1,7 juta jiwa, menyimpan ironi besar. Meski memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari Indonesia dan dikenal sebagai salah satu produsen minyak terbesar di kawasan Sub-Sahara Afrika, lebih dari 70 persen penduduknya justru hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Minyak ditemukan pada 1990-an dan memicu ledakan ekonomi besar. Sektor ini kini menyumbang lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) negara dan sekitar 85 persen dari total ekspor. Namun kemakmuran tidak pernah merata. Berbagai proyek infrastruktur megah yang dibangun dengan dana minyak kerap dinilai sarat korupsi, salah satunya pembangunan pelabuhan di Pulau Anobon yang menelan biaya hingga 100 juta dolar AS, padahal pulau itu hanya dihuni sekitar 5.000 penduduk.
Dinasti Keluarga Obiang Menguasai Negara
Akar kemiskinan yang bertolak belakang dengan kekayaan alam Guinea Khatulistiwa dinilai bersumber dari korupsi sistematis dan politik dinasti. Presiden Teodoro Obiang Nguema Mbasogo telah berkuasa sejak 1979 setelah menggulingkan pamannya dalam kudeta militer. Dengan masa pemerintahan lebih dari 40 tahun, Obiang tercatat sebagai salah satu pemimpin terlama di dunia.
Pemerintahan Obiang tidak hanya otoriter, tetapi juga penuh dominasi keluarga. Posisi-posisi vital negara dari sektor minyak, keamanan, hingga kesehatan dikuasai oleh kerabat dekatnya:
-
Gabriel Obiang, putra presiden, menjabat Menteri Pertambangan dan Energi—posisi paling strategis dalam negara yang sangat bergantung pada minyak.
-
Armengol Ondo Nguema, saudara presiden, memimpin keamanan nasional dan menjaga kekuasaan keluarga dari oposisi.
-
Istri-istri Obiang, termasuk Constancia Mangue Nsue Okomo, memegang posisi kunci di kementerian kesehatan dan lembaga sosial.
-
Teodorin Nguema Obiang Mangue, putra tertua sekaligus Wakil Presiden, dikenal dengan gaya hidup mewah yang bertolak belakang dengan kemiskinan rakyat. Ia terjerat berbagai skandal korupsi internasional dengan aset lebih dari 200 juta dolar AS yang disita di Amerika Serikat, Prancis, Brasil, dan Swiss.
Rakyat Tetap Miskin, Fasilitas Publik Terbengkalai
Di balik gedung-gedung pemerintah yang tampak megah, kenyataan rakyat Guinea Khatulistiwa jauh dari sejahtera. Banyak warga hidup tanpa air bersih, infrastruktur dasar rusak, dan akses listrik tidak stabil. Sebagian besar pedesaan tidak memiliki jalan layak, sementara layanan kesehatan dan pendidikan minim.
Lebih dari 70 persen penduduk hidup dengan kurang dari 2 dolar per hari, kondisi yang bahkan lebih buruk dibanding beberapa negara termiskin di dunia.
Selain ekonomi yang tidak merata, kebebasan pers nyaris tidak ada. Media dikontrol ketat oleh pemerintah. Mereka yang berani mengkritik korupsi atau menuntut perubahan kerap menghadapi intimidasi, penangkapan, dan represi. Beberapa percobaan kudeta pernah terjadi namun selalu digagalkan oleh aparat keamanan yang loyal pada keluarga Obiang.
Reformasi Masih Jauh dari Harapan
Meski Presiden Obiang berulang kali berjanji memberantas korupsi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat, kebijakan pemerintahannya dianggap tidak pernah berpihak pada publik. Sistem hukum dinilai hanya menjadi tameng bagi elit yang berkuasa, sementara rakyat terus terjebak dalam kemiskinan struktural.
Pengamat internasional menilai perubahan hanya mungkin terjadi melalui tekanan global atau perubahan internal yang radikal. Namun selama dinasti politik Obiang masih kuat, masa depan rakyat Guinea Khatulistiwa diperkirakan tetap muram.
Red GEOGRAFLYI

Social Footer