Di tengah keindahan Raja Ampat yang tersohor dunia, pulau-pulau kecil di kawasan itu menyimpan cadangan nikel laterit yang menjadi incaran banyak pihak. Ketika kebutuhan global terhadap nikel meningkat—baik untuk industri mobil listrik Cina maupun agenda ketahanan rantai pasok Amerika Serikat—pulau ini otomatis masuk dalam radar kepentingan internasional. Situasi ini diperparah dengan kebijakan investasi yang longgar dari pemerintah pusat, yang disebut lebih mengutamakan celah ekonomi ketimbang kepemilikan masyarakat lokal.
Kabar mengejutkan pecah pada Juni 2025, saat citra udara menunjukkan aktivitas tambang yang sudah berjalan di Pulau Gak: alat berat beroperasi, jalur logistik dibuka, dan pengerukan tanah berlangsung aktif. Namun publik terperangah ketika laporan bisnis mengungkap bahwa lima perusahaan telah lama mengantongi izin tambang di Raja Ampat, yakni PT Gag Nikel (anak usaha Antam), PT KW Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Reman Prakasa, dan PT Nurham. Sebagian perusahaan bahkan tidak memiliki situs resmi atau laporan keterbukaan publik, sehingga muncul dugaan bahwa struktur kepemilikan dan proses perizinan berlangsung di balik layar.
Di tengah tekanan publik, pemerintah pusat akhirnya mencabut izin empat perusahaan tersebut. Hanya PT Gag Nikel yang tetap beroperasi, meski aktivitasnya tetap menjadi sorotan, terutama terkait status lingkungan dan keberadaan perusahaan di wilayah pulau kecil yang memiliki tingkat kerentanan tinggi. Persoalan semakin keruh ketika sejumlah gambar dan video viral menampilkan dugaan kerusakan parah di Pulau Gak. Meski Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membantah keaslian gambar-gambar tersebut dan menudingnya sebagai manipulasi AI, respons defensif pemerintah memunculkan tanda tanya baru mengenai transparansi dan pengawasan yang selama ini dilakukan.
Tak hanya urusan perusahaan, jejak kepentingan politik juga ikut menyeruak ke publik. Laporan investigatif mengungkap bahwa PT KW Sejahtera Mining dipimpin oleh figur-figur besar, mulai dari mantan menteri hingga tokoh politik nasional. Nama pengusaha besar dari Agung Sedayu Group juga dikaitkan dengan proyek tambang tersebut, menunjukkan bahwa jaringan kekuasaan Jakarta memiliki peran signifikan dalam penetapan izin yang berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Tidak adanya konsultasi masyarakat, transparansi saham, maupun keterbukaan publik membuat operasi tersebut dinilai sebagai bentuk kolonialisme ekonomi modern.
Di lapangan, paradoks justru mengemuka. Gubernur Papua Barat Daya menyebut ada warga Pulau Gak yang menangis meminta tambang tetap berjalan. Namun tidak ada dokumentasi, kutipan, atau bukti pendukung yang menguatkan klaim tersebut. Ketiadaan data membuat pernyataan itu dipertanyakan, terlebih setelah gelombang protes masyarakat dan aktivis semakin besar. Bagi sebagian warga, tambang memang membawa pekerjaan. Namun bagi banyak pihak, hal ini justru menunjukkan tidak adanya alternatif ekonomi yang layak selain menjadi buruh di tanah sendiri.
Setelah kontroversi memuncak, pemerintah pusat akhirnya bergerak. KLHK meninjau ulang izin tambang yang berada di kawasan pulau kecil dan konservasi, sementara Kementerian ESDM mengirim tim inspeksi. Di Pulau Man, kolam limbah milik PT Anugerah Surya Pratama ditemukan bocor dan mencemari laut, menyebabkan penyegelan mendadak. Publik mempertanyakan mengapa tindakan baru diambil setelah kasus viral, bukan ketika izin pertama kali dikeluarkan.
Lapisan masalah lain terlihat dari keberadaan kapal-kapal angkut bertuliskan “JKW Mahakam” dan “Dewi Iriana,” yang sempat disangka milik negara atau keluarga mantan presiden. Namun investigasi mengungkap bahwa kapal tersebut dimiliki perusahaan swasta. Para analis maritim menyebut penamaan ini bisa menjadi strategi untuk menciptakan efek “perlindungan kekuasaan,” sehingga aparat enggan memeriksa atau mengintervensi operasi di lapangan.
Ketika sejumlah platform digital memperlihatkan citra satelit Pulau Gak yang buram, muncul dugaan baru mengenai sensor digital. Namun verifikasi silang menggunakan layanan peta lain menunjukkan kondisi pulau dengan jelas—mulai dari alat berat hingga jalur pengerukan—sehingga kecurigaan publik mengenai upaya pengaburan informasi menjadi kian kuat.
Di tengah eskalasi isu, Raja Ampat yang selama ini dijuluki “surga terakhir di bumi” berada di ujung ancaman. Jika laju penambangan terus dibiarkan tanpa kontrol ketat dan tanpa pelibatan masyarakat adat, kekayaan alam yang selama ini menjadi kebanggaan dunia dapat hilang bersama kepercayaan publik terhadap negara. Warga Papua, yang selama puluhan tahun hanya menjadi penonton di tanah sendiri, kembali berada di posisi paling dirugikan dari permainan geopolitik, kekuasaan, dan kerakusan sumber daya yang tak kunjung berakhir.


Social Footer