Breaking News

Nauru di Persimpangan: Kaya Kembali atau Miskin Selamanya? Taruhan Gila di Tambang Laut Dalam Senilai Rp320 Kuadriliun

Nauru, GEOGRAFYI.COM Negara pulau kecil Nauru kembali menjadi sorotan dunia setelah nekat mengambil peran besar dalam rencana penambangan mineral laut dalam senilai lebih dari 20 triliun dolar AS. Taruhan ini dianggap sebagai peluang emas sekaligus potensi petaka baru bagi negara yang pernah mengalami salah satu keruntuhan ekonomi paling dramatis dalam sejarah modern.

Dari Negara Super Kaya Menjadi Salah Satu yang Termiskin

Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, Nauru sempat mencatat PDB per kapita tertinggi kedua di dunia berkat kekayaan fosfat. Namun penambangan brutal mengubah 80% wilayahnya menjadi hamparan karang tandus setinggi 15 meter. Ketika fosfat habis pada 1990-an, ekonomi Nauru runtuh, aset negara hancur, dan rakyat terjebak dalam kemiskinan ekstrem.

Kini, negara berpenduduk 12 ribu jiwa ini kembali mempertaruhkan masa depan pada sumber daya alam—kali ini bukan dari daratan, melainkan dari dasar Samudra Pasifik.

Harta Karun Baru di Kedalaman 4.000 Meter

Di wilayah Clarion Clipperton Zone, miliaran nodul polimetalik terbentuk selama jutaan tahun. Batu-batu seukuran apel ini mengandung nikel, mangan, tembaga, dan kobalt—empat logam vital untuk baterai kendaraan listrik dan transisi energi hijau.

Nilai totalnya ditaksir mencapai 20 triliun dolar, lebih besar dari ekonomi Tiongkok dalam setahun.

Perusahaan Kanada The Metals Company (TMC) menjadi pionir teknologi tambang laut dalam dan membutuhkan negara sponsor. Nauru pun masuk sebagai sponsor resmi, memberikan mereka akses ke ladang mineral strategis tersebut.

Dituduh Menjadi “Tameng Legal” Perusahaan Besar

Menurut hukum internasional (UNCLOS), kawasan laut dalam adalah warisan bersama umat manusia. Perusahaan hanya boleh menambang jika disponsori negara anggota dan diawasi International Seabed Authority (ISA) yang berbasis di Jamaika.

Namun banyak LSM global menuding pola yang terjadi sebagai “sponsorship of convenience”—perusahaan besar memanfaatkan negara kecil yang punya kapasitas minim untuk mengawasi aktivitas tambang bernilai miliaran dolar.

Kritik menyebut praktik ini sebagai kolonialisme gaya baru, di mana negara kecil menjadi pion sementara keuntungan mengalir ke perusahaan besar dan negara kaya.

Ancaman Bencana Lingkungan yang Belum Dipahami

Riset ilmiah menunjukkan dasar laut bukan ruang kosong. Kamera bawah laut menemukan:

  • Karang transparan yang tumbuh sangat lambat

  • Spons raksasa

  • Anemon laut

  • Hingga spesies baru yang belum diberi nama

Banyak organisme hidup langsung di permukaan nodul, artinya proses penyedotan memiliki potensi merusak ekosistem yang belum dipahami manusia.

Selain itu, tambang dapat menciptakan awan sedimen raksasa yang menggangu mikroba penting dalam siklus karbon global. Jika rusak, potensi dampaknya bisa merembet hingga perubahan iklim.

Perebutan Kepentingan Negara Besar

Meski negara sponsor adalah negara kecil Pasifik seperti Nauru, Tonga, dan Kiribati, aktor sesungguhnya adalah negara adidaya di belakangnya:

  • Kanada (TMC)

  • Tiongkok melalui BUMN

  • Rusia

  • Jepang

AS bahkan sudah mengeluarkan dekret yang memungkinkan perusahaan Amerika menambang tanpa izin ISA—langkah yang oleh beberapa negara disebut pembajakan modern.

Akankah Sejarah Berulang?

Dulu fosfat membuat Australia dan Selandia Baru kaya, sementara Nauru hancur. Kini pertanyaan besarnya sama:
Apakah nodul laut dalam akan menyelamatkan Nauru atau menjerumuskannya ke bencana baru?

Jika berhasil, Nauru bisa kembali meraih kejayaan. Jika gagal, pulau kecil ini berpotensi semakin terpuruk dalam kemiskinan, tepat seperti saat fosfat habis 30 tahun lalu.

Iklan Disini

Masukan Kata yang mau dicari

Close